SABISNIS.COM, Jakarta – Pemerintah AS yang menerbitkan begitu banyak utang demi menambal kekurangan anggaran guna memulihkan perekonomian Negeri Paman Sam akibat pandemi Covid-19 dinilai akan menjadi katalis bagi obligasi negara-negara Eropa lebih menarik ketimbang obligasi AS atau US Treasury.
Holger Schmieding, Kepala Ekonom Berenberg Bank yang berbasis di Hamburg, Jerman, mengatakan obligasi AS, utang yang diterbitkan oleh Departemen Keuangan AS untuk mendanai kegiatan pemerintah, secara tradisional memang dianggap sebagai aset yang aman.
Artinya, jika ada investor yang membeli obligasi pemerintah AS, maka akan memiliki tingkat pengembalian (yield) yang stabil di masa depan, meskipun tidak terlalu tinggi, dan investor percaya bahwa pemerintah AS akan membayar kembali utangnya.
Namun, sisi menarik US Treasury bisa perlahan pudar, bisa berubah setelah pandemi virus corona selesai.
“Utang di AS, adalah utang publik, melonjak jauh lebih banyak daripada yang kita lihat di mana pun dibanding di Eropa, jadi perbandingan antara membeli obligasi Eropa atau obligasi AS akan benar-benar terlihat lebih menguntungkan di masa depan,” kata Holger Schmieding, dalam program Squawk Box Europe Senin (21/9/2020).
US Congressional Budget Office atau Kantor Anggaran Kongres AS mengatakan pada September, bahwa utang publik akan “meningkat tajam menjadi 98% dari PDB pada tahun 2020, dibandingkan dengan 79% pada akhir tahun 2019.
Bahkan pada 2021, disebutkan utang AS akan berada di atas 100% PDB dan mencapai 109% dari PDB pada tahun 2030.
Dia mengatakan, tingkat utang publik yang lebih tinggi dapat membuat obligasi AS kurang menarik bagi investor karena ada peningkatan risiko bahwa pemerintah AS pada suatu saat dapat berupaya membayar sebagian dari kewajibannya.
Oleh karenanya, investor yang mencari aset yang relatif bebas risiko berpotensi berpaling dari obligasi AS ke obligasi negara-negara Eropa.
Meski demikian, masih ada kekhawatiran, mengingat negara-negara Eropa juga menerbitkan lebih banyak utang untuk menghadapi guncangan ekonomi dari Covid-19.
Faktanya, Bank Sentral Eropa (ECB) sebelumnya juga sudah memperingatkan pada Mei lalu bahwa meningkatnya utang publik di negara-negara Eropa yang banyak berutang banyak, seperti Yunani dan Italia, dapat memicu kembali kekhawatiran pasar.
Namun, sejak peringatan ECB itu, 27 negara Uni Eropa (UE) sepakat telah menyetujui pinjaman bersama melalui Komisi Eropa, Badan Eksekutif UE.
Rencana ini telah meningkatkan kepercayaan pasar bahwa kawasan tersebut dapat mengatasi guncangan ekonomi lebih baik dari perkiraan semula dan oleh karena itu dapat menjadi sentimen positif bagi minat untuk berinvestasi di obligasi Eropa.
“Selain itu, kami memiliki Bank Sentral Eropa yang pada dasarnya menahan sebagian besar peningkatan utang dan untuk waktu yang lama tidak akan menjual semua itu,” katanya.
“Jadi setidaknya di masa mendatang, katakanlah tiga [tahun] berikutnya, atau empat tahun, risiko krisis utang di Eropa sangat kecil selama Italia tidak melakukan apa pun secara politis sejauh ini, “kata Schmieding.
Dia menilai bahwa Italia adalah negara paling berisiko di UE meskipun Yunani memiliki tumpukan utang publik tertinggi di seluruh UE.
Risiko Italia tinggi karena pemerintah koalisi di Roma dipandang relatif rapuh dan kejatuhan pemerintahan koalisi dapat dengan mudah memicu digelarnya pemilihan umum.
Sebagai perbandingan, data Indonesia Bond Pricing Agency (IBPA) mencatat per 21 September ini, yield US Treasury untuk tenor 30 tahun berada di level 1,45%, sementara UK Gilt Inggris 30 tahun 0,74%, dan Germany Bund 30 tahun -0,04%. Japan Bond 30 tahun 0,58%. (Dari Berbagai Sumber)