SABISNIS.COM. Jakarta – Dikutip dari Portal CNBC Indonesia, bahwa deru revolusi industri 4.0 tak hanya menerpa sektor riil, tapi juga sektor keuangan dengan maraknya layanan berbasis teknologi digital.
Di negara kepulauan seperti Indonesia, digital banking bisa menjadi solusi mempercepat inklusi keuangan.
Prospek industri keuangan di era digital ini terlihat dari proyeksi Global Market Insight (GMI) pada awal tahun lalu yang memperkirakan pasar perbankan digital global bakal mencapai US$ 9 triliun (Rp 130 kuadriliun) pada 2024, melesat 28,6% dari US$ 7 triliun pada 2017.
Inilah yang membuat industri perbankan dunia kian banyak melirik digital banking lima tahun terakhir. Dalam lima tahun terakhir sejak 2013, pasar keuangan digital banyak digarap oleh lembaga financial technology (fintech) dengan dukungan pemodal ventura (venture capital).
GMI melaporkan nilai investasi fintech pada 2017 telah mencapai US$16,5 miliar dengan menguasai 87% pangsa pasar keuangan digital.
Bank, di sisi lain, baru menggarap 13% dari sisa pangsa pasar tersebut.
Berdasarkan riset Google, Temasek, dan Bain & Company 2019 (dalam e-Conomy SEA 2019), hanya 25% dari 400 juta penduduk dewasa di Asia Tenggara, atau sebanyak 100 juta orang, sudah mendapat layanan perbankan penuh (banked).
Sebanyak 25% sisanya telah memiliki rekening bank, tapi belum mendapat akses layanan finansial (underbanked).
Sisanya sebesar 50% belum tersentuh layanan finansial atau perbankan sama sekali (unbanked).
Inilah yang tengah coba diatasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dengan program inklusi keuangan atau laku pandai, mengingat masih tingginya masyarakat yang belum menikmati akses layanan perbankan karena berbagai kendala, salah satunya geografis.
Masih menurut e-Conomy SEA 2019, Indonesia menjadi negara dengan jumlah penduduk unbanked terbesar di ASEAN yaitu sebanyak 92 juta jiwa. Ini membuka peluang bagi bank, yang memiliki keunggulan dari sisi modal dan jaringan pasar, untuk membangun bank-bank digital.
Keberadaan bank digital terutama mengikis problem seputar struktur geografis yang mempersulit bank membangun kantor cabang di Nusantara yang terdiri dari 17.000 pulau. Dengan bank digital, kendala tersebut bakal teratasi mengingat kuatnya penetrasi internet.
Mengutip Kementerian Komunikasi dan Informatika, jaringan internet 4G telah melayani 82% wilayah Indonesia. Dengan kian terjangkaunya ponsel pintar, masyarakat di seluruh pelosok negeri pun berpeluang besar mengakses layanan digital dari perbankan.
Dari sisi regulator, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berusaha mengantisipasi pergerakan zaman menuju digital dengan menerbitkan paying hukum. Sayangnya, regulasi itu baru sebatas mengenai penyelenggaraan digital branch (cabang digital) untuk bank umum, dan belum spesifik mengenai bank digital murni seperti Webank.
Satu-satunya regulasi bank digital tersbut adalah Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 12/POJK.03/2018 tentang Penyelenggaraan Layanan Perbankan Digital Oleh Bank Umum.
Layanan digital tersebut terdiri dari internet banking, phone banking, SMS banking dan mobile banking.
Sementara itu, jika bicara bank digital, sebagai sebuah entitas murni, Indonesia belum memiliki aturan sama sekali.
Mengutip klasifikasi Giacomo Buchi dkk dalam riset berjudul “New Banks in The 4th Industrial Revolution: A Review and Typology” (2019), ada lima jenis bank digital yang kini marak di dunia. Mereka tak sekadar menjadi bank yang memberi layanan berbasis digital, melainkan benar-benar menjadi bank digital tanpa kantor cabang.
Ambil contoh Webank, yang beroperasi sebagai neobank pertama di China. Dikendalikan oleh raksasa fintech yakni Tencent, Webank tidak memiliki izin operasi sebagai bank, tak membuka kantor cabang, dan tak mensyaratkan kolateral properti untuk syarat pengajuan kredit.
Sebaliknya, mereka menggunakan teknologi pengenalan wajah, dan peringkat kredit berbasis big data. Mereka tidak memiliki kantor cabang sama sekali, selain kantor pusat di Shenzhen. Namun jangan salah, mereka tidak kalah dari sisi kehati-hatian operasi.
Dalam laporan keuangannya per 2018, rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) tercatat hanya 0,5%. Angka ini jauh lebih rendah dari NPL industri perbankan di China yang pada periode sama sebesar 1,8% atau rekor tertinggi baru.
Padahal kredit yang dikucurkan telah mencapai senilai 119,8 miliar yuan (Rp 246,25 triliun) atau melesat 151%, di mana target utamanya adalah masyarakat pedesaan dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), dengan jumlah nasabah 12 juta.
Dus, laba bersih WeBank mencapai 2,5 miliar yuan, melesat 70,9% dari pendapatan sebesar 10 miliar yuan (lompat 48,6%). Asetnya telah mencapai 96 miliar yuan, atau naik lebih dari 20% dalam setahun.
Contoh yang paling dekat dan paling kontemporer adalah rencana Grab Holding Inc untuk mendirikan bank digital murni di Singapura dengan menggandeng Singapore Telecommunications Ltd.
Tidak lama setelah itu, Razer Inc, sebuah perusahaan gaming internasional, bersama kelima mitranya ikut mendaftarkan untuk mendapatkan lisensi pendirian bank digital secara penuh di Negeri Merlion.
Keniscayaan roda zaman menuju digitalisasi telah diantisipasi oleh pelaku usaha dan regulator. Terbaru, ada PT Bank Central Asia Tbk (BCA) yang merampungkan akuisisi PT Bank Royal Indonesia pada November 2019 dengan menguasai 99,99% sahamnya.
Bank Royal akan didedikasikan untuk menggarap segmen usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) sebagai bank digital.
Perseroan telah menyuntikkan modal senilai Rp 1 triliun, di luar pembayaran akuisisi senilai Rp 988 miliar.
Sejauh ini belum ada informasi resmi mengenai jenis bank digital seperti apa yang akan disiapkan BCA.
Namun, jika manajemen BCA dan para bankir ingin benar-benar menciptakan bank digital, maka ada syarat mutlak yang harus dipenuhi sebagaimana ditekankan oleh Brett King, pendiri Movenbank (bank berbasis kanal bergerak atau mobile murni pertama dunia).
Dia membuat daftar skor yang harus dipenuhi seseorang untuk bisa menjadi ‘bankir digital’, membedakannya dari bankir yang hanya ‘menyediakan layanan digital dalam kantor cabangnya’. Jika anda memenuhi 50% dari itu, maka anda layak disebut bankir digital:
Jika belum bisa memenuhi scorecard tersebut, menurut Brett, maka anda belum layak mengklaim diri sebagai bankir digital. Dengan kata lain, mengoperasikan bank digital mengharuskan anda mengubah layanan perbankan secara radikal dari yang sekarang ada.
Dalam titik ini, tidak banyak bankir Indonesia yang memiliki kemauan bisnis untuk melangkah ke sana. Bank BCA, yang terdepan di antara bank lain dengan membeli bank Royal untuk diubah menjadi ‘bank digital’, belum menunjukkan model bisnisnya.
Jika Bank Royal hanya menjadi bank anak usaha BCA dengan model bisnis seperti induknya dalam hal penggunaan platform digital untuk menjangkau nasabah, maka ia hanya melakukan digitalisasi layanan bank, dan bukan menciptakan ‘Bank Digital’.
Jadi, bank digital seperti apa yang dinilai marak dan cocok untuk digarap di pasar Indonesia? Kita tunggu kajian yang tengah disiapkan para bankir nasional. Namun, awas! Jika terlalu lama mengkaji tanpa realisasi, pasar bank digital nasional bisa diserobot fintech yang lagi menjamur. (*)
SABISNIS.COM DEPOK-Kampanye akbar Pasangan Calon (Paslon) walikota dan calon wakil walikota Kota Depok dengan nomor…
Tapteng, Sabisnis.com - Justri Yanti Panjaitan meminta kepada Kasat Reskrim Polres Tapanuli Tengah untuk memberikan…
Tapteng, SABISNIS.com - Melalui Via Zoom Pj. Bupati Tapanuli Tengah Dr. Sugeng Riyanta, SH MH,ikuti…
Sibolga, Sabisnis.com - Calon bupati Tapanuli Tengah Masinton Pasaribu dan calon wakil bupati Mahmud Efendi…
Tapteng, Sabisnis.com - Pertikaian antara Baktiar Ahmad Sibarani dengan saudara Ametro Pandiangan adalah masalah pribadi,…
Tapteng, SABISNIS.com - Masyarakat di Kecamatan Tapian Nauli, Kabupaten Tapanuli Tengah (Tapteng), Provinsi Sumatera Utara…